“Fadil, bapak berangkat kantor dulu,ya!”
Terdengar suara lembut bijaksana dengan semangat bajanya dari lantai bawah. Aku yang masih bermalasan dengan mata sayu di tempatku tidur lelap tadi malam karena hari itu memang sedang libur sekolah dikarenakan kakak kelas 9 sedang TO. Heran, bapak memilih tidur di kamarku malam itu, dan akhirnya aku pindah di kamar adik. Rasanya saat mendengar suara lembut itu, aku serasa ingin bersalaman alias berjabat tangan dengan sosok lelaki itu seperti hari-hari masuk biasa. Tapi ketika aku ingin beranjak dari kasur, seperti ada sesuatu yang mengatakan ‘jangan’ dan menarikku kembali supaya tidak turun ke bawah.
Waktu menunjukan pukul 8. Dengan pakaian batik bebas rapi yang aku kenakan, aku berangkat menuju sekolah mengendarai sepeda bersama temanku. Hari itu walaupun libur, aku dan teman-teman yang ditunjuk untuk mengikuti ekstra batik disuruh masuk. Baru mengendarai sekitar 100meteran, aku merasa tidak nyaman dengan baju batik yang aku kenakan. Akhirnya aku memutar balik kembali ke rumah untuk ganti pakaian. Aku memilih pakaian warna kuning.
Waktu berjalan cepat. Pembelajaran tentang pembuatan batik tulis sudah usai. Sekitar pukul setengah 12 lebih aku dan teman-teman pulang ke rumah masing-masing. Tiba-tiba dalam perjalanan hujan deras mengguyur kota Rembang. Akupun bersama temanku memutuskan untuk mampir dulu di rumah mbah uti. Di rumah mbah uti, seperti biasa aku berbincang-bincang bersama mbah. Tidak menjelang lama, hujan pun agak berhenti menjadi gerimis kecil. Temanku itupun pamit untuk pulang. Akupun menyusul pulang ke rumah dan pamit dengan mbah uti. Saat hampir masuk ke pagar rumahku, tiba-tiba tetanggaku, Mas Rudi memanggilku, “Fa, Ibuk sudah pulang?” otomatis aku mengatakan tidak tahu dan mungkin ibuk memang belum pulang dari kantor. Lalu, Mas Rudi itu tiba-tiba mengelus kepalaku. Aku kaget. Kenapa kepalaku dielus? Tidak biasanya mas Rudi mengelus kepalaku. Akupun memasukkan sepedaku ke garasi rumah. Tiba-tiba ada perasaan tidak enak dalam hatiku ini. Ada apa dengan Ibuk?? Jangan! Ah mungkin hanya menanyakan saja. Di rumah tinggal aku, mbah, dan dik Fadil. Tiba-tiba diluar banyak orang tetanggaku teriak-teriak, menangis, seperti rasa kaget yang dahsyat. Mbah yang hari itu memang badannya tidak sesehat hari biasanya, bingung dengan tetangga-tetangga. Bu Pram menangis tidak kuat sambil memukul-mukul tiang kayu didepannya. Mbah semakin bingung. Sedangkan aku ditanya oleh Pak Yanto berapa nomor telepon Budhe Kris dan Pak Dhe Eko(Budhe dan Pakdhe di Jakarta). Aku semakin penasaran, sebenarnya ada apa ini?? Lalu, semakin banyak tetanggaku yang datang ke rumah. Mbak Yuli meminjam lap pelku dan membersihkan air-air hujan yang ada di depan teras rumah. Air mata sudah memenuhi bola mataku. Padahal aku tidak tahu apa yang terjadi. Pak Didik membisikku dan dik Fadil, “Fa, bapak kecelakaan meninggal dunia” langsung saja aku dan dik Fadil langsung menangis kencang meraung-raung tak karuan. Dengan kata-kata yang aku keluarkan supaya Bapak bisa kembali lagi. Apa?! Aku sudah tidak punya seorang Bapak lagi??! Beliau yang selalu menyayangiku, menasehatiku, mencintaiku, mengajariku, mencari nafkah untuk keluarga, selalu membuat orang tertawa dengan guyonannya, sekrang beliatu sudah tiada?! Sudah menjadi jenazah?! Hatiku terasa ditusuk pedang berukuran lebih dari 10meter. Menusuk, menukam jantungku dengan sakitnya. Nyesek, getar semua badan gue. Dan… Ibuk dengan juga menangis meraung-raung datang, lalu menghampiri aku dan dik Fadil yang tergeletak di lantai ngesot-ngesot. Kami bertiga berpelukan.
Ah… GAK KUAT !!!!! T_T END deh sampe ini aja, gak kuat nangisnya sama nulisnya :'(:---(
Written by : AUFA KIRANA WIDYOATI from 20120202
(baru sempet ngepost)
My Fav CHARA
